Andhang PangrenanKota ini selalu menyisakan kerinduan bagi mereka yang telah singgah dan pernah hidup didalamnya, kenangan manis soal dinginnya kota, sepinya jalan, dan jauhnya dari hiruk-pikuk pencari gemerlap kemewahan. Sunyinya kota dari riuh-rendah metropolitan menyebabkan banyak spot-spot menarik bagi pencinta pojokan yang berpasang-pasangan.

Inilah Purwokerto, sulit mencari wajah muram dan potret hamba-hamba sedih di ibukota Kabupaten Banyumas ini. Hampir semua bahagia muncul dengan auranya yang berbeda. Bagi saya yang pernah mendiami kota ini dan sebagai pemegang hak hidup akhir pekan atas kota ini, tentu kota ini selalu menjejakkan kerinduan.

Disini segala sesuatu masih terjangkau, keterjangkauan soal harga dan lokasi itu menyebabkan bangsa-bangsa pribumi lebih suka menikmati kudapan milik pribumi pula. Disana tumbuh aneka junkfood serta fastfood, tapi apa daya, nampaknya gerusan kapitalisme dalam hal masakan tak bisa mengalahkan imperium ramesan di siang hari dan viralnya angkringan di malam hari.

Mencari objek wisata di ibukota kabupaten ini bukan hal yang sulit dan berbiaya mahal, didalam kotanya pun terhampar berbagai Taman Kota dan Taman Rakyat termasuk didalamnya tedapat alun-alun luas diseberang pendapa bupati. Rekreasi ke kabupaten sebelah pun sangat dekat dan aksesnya mudah, mau mencari laut bisa ke tepian Cilacap atau Kebumen, mau mencari nuansa pegunungan, terdapat kaki gunung Slamet di wilayah Purbalingga atau Tegal sudah siap memanjakan, mau mencecapi kesederhanaan lain, maka kota ini sudah menyiapkan dengan berbagai kemudahannya.maka nikmat Tuhan mana lagi yang didustakan oleh penduduk kabupaten ini?

Lantas benarlah apa yang dikatakan oleh penikmat sejarah, bahwa kota-kota bersejarah di Jawa Tengah itu selalu ditujukan pada 3 wilayah yakni Purworejo, Surakarta, dan Purwokerto (Banyumas). Di kota ini, nomenklatur wilayah tidak seperti di kota lain yang memiliki ciri khas tersendiri. Masyarakat sini lebih bangga dengan pahlawan daerahnya yang sejarahnya juga menyemarakkan literatur perjuangan melawan kolonialisme kala itu. Sebut saja Jenderal Soedirman, Gatot Soebroto, Adipati Mersi, Oversteid Isdiman, Kolonel Bambang Suprapto. Tak kurang itu pula, nampaknya sejarah juga tak cukup untuk menutup mata tentang sosok bernama Margono Soekardjo sebagai dokter kulit pertama di Indonesia, Dokter Angka, dan H.R Bunyamin. Nama terakhir ini pasti dikenal lekat di telinga para mahasiswa yang menuntut ilmu dari kota mendoan.

Bicara soal mahasiswa, kota ini lengkap sebagai selengkap-lengkapnya kota. Setidaknya kampus swasta cukup untuk menampung mereka yang kurang beruntung dalam rangka lulus di kampus negeri satu-satunya milik departemen pendidikan. Sehingga, persaingan tidaklah berlebihan sebagaimana persaingan kampus-kampus di kota-kota besar yang tak segan membajak para dosennya secara serampangan. Disini, kampus negeri dan swasta berharmoni dengan indahnya, dan itu tak masalah sebab bagi para dosen-dosen tersebut, begitulah sumbangsih untuk memajukan pendidikan di kota tercinta. Untuk menghidupkan semangat ilmu dan keilmuan yang menyemangati generasi selanjutnya.

Bicara soal kesadaran beragama, masyarakat Purwokerto juga memiliki religiusitas tinggi. Nuansa harmoni antar agama sungguh sangat luar biasa kemewahannya. Tak pernah terdengar ada konflik agama secara berarti. Yang ada malah toleransi setinggi-tingginya. Betapa warna agama disini sangat bercorak, namun betapa indahnya pula corak-corak itu seperti warna-warna pada motif batik Banyumas yang punya beda dibanding wilayah Jawa Tengah lainnya.

Hiburan rakyat alangkah luar biasa, parade-parade rakyat acapkali biasa terlaksana. Karnaval rakyat dengan alat music daerah bernama kentongan, seringkali tersuguhkan dengan apiknya dan begitulah hiburan rakyat. Semua peserta acara bergaya ala mewahnya, dan tugas penonton memeriahkan suasana. Tugas yang tak perlu biaya dan semua bercampur dalam nilai bahagia.

Di kota ini sulit mencari orang-orang yang tersinggung terhadap kata-kata. Budaya mengajarkan untuk menjadi apa adanya dalam bersikap, pun dalam berkata. Begitulah esensi dari jargon hidup Cablaka atau Blakasuta. Maka berbahagialah masyarakat Jakarta yang multikultural dan serba jauh dari ketersinggungan itu saat mereka tinggal di kota ini.

Disini sulit mencari angkutan umum saat senja sudah merapat tenggelam. Sebab waktu terbatas hanya sampai pukul lima saja, sebab sopir-sopir angkot itu, berapapun hasilnya dihari tersebut, bahagia bersama keluarga tak dapat terbayarkan. Sopir-sopir angkot pun berwajah ramah, tidak seperti di kota padat yang wajahnya pun pekat. Susah cari orang jahat disini, semua orang sangat mudah untuk membantu. Dan inilah yang membentuk budaya para pendatang. Bukan kota ini dibentk oleh para pendatang, namun para pendatang tersebutlah yang harus patuh terhadap budaya kota ini.

Berbicara soal kampus, disini kita bisa temukan kampus negeri milik pemerintah. Satunya kepunyaan departemen agama yakni IAIN Purwokerto, dan satunya lagi Unsoed yang sudah melegenda namanya. Denyut kehidupan dan ramainya hanya di sekitaran kos kampus tersebut saja. Tapi, mohon maaf begitulah kebiasaan, di kota ini kita akan sangat jarang untuk mengatakan tidak ada sama sekali tentang melihat rumah-rumah diskusi yang dibuat oleh para mahasiswa untuk sekedar berdialektika atau bergurat-gurat nadi demi suatu ideologi. Maaf disini tak menyediakan itu semua, mahasiswanya lebih senang untuk membaur dengan masyarakat, bekerja dengan masyarakat, dan menyejahterakan masyarakat. Mahasiswa lebih suka untuk bersenda gurau dengan para pemilik kos yang berada pada usia pensiun, membentuk wadah-wadah wirausaha, membantu memasarkan produk rumahan milik warga setempat. Dan begitulah senyata-nyatanya manusia yang memegang teguh tridharma perguruan tinggi, tak habiskan waktunya berdialektika lalu menjadi apatis seketika.

Begitulah Purwokerto, cobalah hidup disini untuk beberapa waktu saja. Menikmati dinginnya kota, temaramnya lampu saat senja tiba, serta kehangatan apa adanya milik para penduduk aslinya. Namun sayang, mungkin ini tidak lama jika tidak dibenahi segera, sampah-sampah budaya kini mulai membanjiri kota berjulukan satria ini. Sampah-sampah budaya yang menurut Sumbo Tinarbuko terdiri dari sampah arsitektur, sampah visual, hilangnya fungsi trotoar, pengaturan serta penempatan pedagang kakilima, dan meningkatnya jumlah pengguna lalulintas, menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah setempat.

Jangan sampai, kehangatan mendoan terkalahkan dengan hangatnya kota tersebab hilangnya pohon-pohon kayu yang berganti menjadi pohon-pohon beton. Berkunjunglah ke Purwokerto, saran saya gunakan kereta agar penelusuran jejak tak habis karena lamanya waktu perjalanan.

(Ditulis sambil senggang, bukan oleh orang Purwokerto asli tapi punya KTP Banyumas)

 nempuh perjalanan Bekasi-Purwokerto tiap pekan.

Tinggalkan komentar